https://investor.id/business/perlu-5-langkah-untuk-cegah-resesi
EKONOMI INDONESIA HANYA MELAMBAT
Perlu 5 Langkah untuk Cegah Resesi
Nida Sahara/Tri Murti, Senin, 7 Oktober 2019 | 14:36 WIB
JAKARTA, investor.id – Pemerintah perlu menempuh lima langkah preventif untuk menghindarkan perekonomian nasional dari resesi. Kelima langkah itu adalah mempermudah perizinan investasi untuk menarik lebih banyak investor, memperluas insentif pajak kepada perusahaan besar, menengah, dan kecil, serta memperkuat pengawasan terhadap korporasi dan lembaga keuangan, khususnya perbankan, untuk mengantisipasi risiko gagal bayar. Langkah lainnya adalah menjaga konsumsi rumah tangga dengan tetap memberikan stimulus kepada masyarakat kelas bawah, seperti menaikkan pendapatan tidak kena pajak (PTKP), mengefektifkan bantuan sosial (bansos), dan tidak terburu-buru menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Selain itu, pemerintah wajib melindungi pasar dan industri dalam negeri, sekaligus menggenjot pasar ekspor. Langkah preventif pemerintah harus diprioritaskan kepada sektor-sektor bisnis yang memiliki transmisi sangat cepat ke pasar global, seperti sektor keuangan, khususnya perbankan, sektor pertambangan, sektor perkebunan, dan sektor properti. Di sisi lain, pemerintah perlu ‘melokalisasi’ sektor-sektor bisnis yang paling elastis (resilient) dan tidak banyak terintegrasi dengan sistem global, sehingga bisa menjadi bantalan penangkal krisis. Sektor tersebut banyak berada di segmen usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Langkah preventif juga mesti ditempuh dunia usaha, di antaranya tidak agresif berekspansi dan menyiapkan likuiditas yang cukup. Kecuali itu, dunia usaha harus mengurangi pinjaman dan melakukan lindung nilai (hedging) kurs, menerapkan efisiensi, serta menjaga tata kelola perusahaan yang baik (corporate good governance/GCG).
Hal itu diungkapkan Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Jahja Setiaatmadja, Direktur PT Bank Ina Perdana Tbk Benny Purnomo, Kepala Ekonom PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BTN) Winang Budoyo, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara, pengamat ekonomi Universitas Indonesia (UI) Lana Soelistianingsih, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat, dan pengamat pasar modal Siswa Rizali. Mereka dihubungi Investor Daily secara terpisah di Jakarta, akhir pekan lalu, sehubungan dengan kekhawatiran terhadap meningkatnya ancaman resesi ekonomi global. Meski menekankan perlunya langkah-langkah preventif, para bankir, pengusaha, dan ekonom tetap optimistis perekonomian Indonesia jauh dari resesi atau menurunnya pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) dalam dua kuartal berturut-turut secara tahunan (year on year/yoy)
Sementara itu, Bank Dunia dalam riset edisi September 2019 bertajuk Risiko Ekonomi Global dan Implikasinya terhadap Indonesia, menyebutkan, perlambatan ekonomi global saat ini membuka peluang bagi kemungkinan terjadinya resesi. Menurut Bank Dunia, sinyalemen itu tampak antara lain pada imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS yang sempat mengalami inversi (kurva yield obligasi tenor panjang berbanding terbalik dengan tenor pendek). Perekonomian zona euro juga terus melambat, diikuti penurunan sektor manufaktur. Kecuali itu, perekonomian Tiongkok, mesin pertumbuhan ekonomi kedua setelah AS, turut melemah sejalan dengan anjloknya industri manufaktur, ritel, dan investasi. “Indonesia akan terkena imbasnya jika ekonomi global mengalami resesi,” demikian Bank Dunia. Bank Dunia menyebutkan, perlambatan ekonomi RI akan berlanjut akibat produktivitas yang rendah dan melambatnya angkatan kerja. “Ekonomi global melambat akibat rendahnya harga komoditas. Itu bakal menekan pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih lajut,” demikian Bank Dunia. Ekonomi RI, menurut Bank Dunia, memiliki ketergantungan terhadap Tiongkok. Jika pertumbuhan ekonomi Tiongkok turun 1,0 poin persentase, pertumbuhan ekonomi RI bakal turun 0,3 poin persentase. Ketika ekonomi global mengalami resesi pada 2009 dengan penurunan 6,2 poin persentase dari tahun 2007, harga komoditas pun anjlok dan ekonomi RI melambat 1,7 poin persentase. Bank Dunia mengungkapkan, ruang stimulus fiskal dan moneter Indonesia sudah terbatas. Selain itu, ekonomi RI cukup berisiko karena menanggung defisit neraca transaksi berjalan (current account deficit/CAD) yang besar, yakni US$ 33 miliar per tahun. Dengan aliran investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI) US$ 22 miliar per tahun dan investasi luar negeri US$ 5 miliar per tahun, Indonesia setidaknya butuh US$ 16 miliar arus modal masuk (capital inflow) per tahun. Itu belum memperhitungkan terjadinya arus modal keluar (capital outflow). Bank Duia juga menyoroti perizinan investasi di Indonesia yang masih berbelit dan tumpang tindih. “Karena alasan itu pula, perusahaan-perusahaan di Tiongkok merelokasi pabriknya ke Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Taiwan, bukan ke Indonesia,” demikian Bank Dunia.
Pengamat pasar modal Siswa Rizali mengungkapkan, perekonomian Indonesia belum terindikasi bakal mengalami resesi. “Yang terjadi adalah perlambatan ekonomi, bukan resesi,” ujar dia. Perekonomian global pun, menurut dia, hanya mengalami perlambatan, bukan resesi, yaitu dari tumbuh sekitar 4% pada 2017 menjadi 3,7% pada 2018, dan kemungkinan hanya 3,4% pada 2019. “Tapi memang ada ketakutan bahwa pertumbuhan ekonomi dunia bisa di bawah 3,4%,” tutur dia. Siswa Rizali menjelaskan, sejumlah data yang menjadi leading indicator menunjukkan potensi perlambatan ekonomi global, seperti kejatuhan Manufacturing Purchasing Managers’ Index (PMI) di berbagai negara dan rendahnya laju inflasi sebagai pertanda lemahnya daya beli. Dia menambahkan, instrumen fiskal dan moneter di negara-negara maju, khususnya AS, dan Tiongkok sudah sangat terbatas. Di sisi fiskal, beban utang mereka sudah berat. Sedangkan di sisi moneter, mereka sudah memberlakukan suku bunga rendah. “Ekspansi neraca bank sentral mereka, terutama karena quantitative easing (QE), juga sudah terlalu besar,” ucap dia. Sebaliknya, kata Siswa Rizali, Indonesia masih punya ruang fiskal dan moneter yang memadai karena beban utang pemerintah cukup rendah dan bunga acuan BI relatif tinggi. Hanya saja, sebagai negara kecil yang arus finansialnya terbuka, kebijakan fiskal dan moneter yang ditempuh pemerintah dan BI tetap saja kurang efektif. “Apalagi jika realisasi penerimaan pajak kian terbatas akibat turunnya laba korporasi. Jadi, kalau PDB kita tahun ini bisa tumbuh di level 5% atau 5,1%, hebat itu,” tandas dia. Dia menegaskan, dengan pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi disertai urbanisasi, memiliki banyak pekerja usia muda, dengan level utang yang rendah, sulit bagi Indonesia untuk mengalami resesi. “Paling-paling tumbuhnya di bawah harapan. Sektor yang terpukul biasanya yang baru ekspansi besar-besaran, seperti properti dan konstruksi. Ini mirip lesunya sektor komoditas pada era 2013-2015 setelah booming komoditas tahun 2003-2010,” papar Siswa Rizali.
Presdir BCA Jahja Setiaatmadja mengungkapkan, meski perekonomian Indonesia jauh dari resesi, pemerintah perlu melakukan langkah-langkah pencegahan. “Yang mendesak dilakukan pemerintah di antaranya memberikan kemudahan perizinan investasi, menggenjot ekspor dengan membuat kawasan ekspor terpadu, memberikan keringanan pajak, serta memperlunak Undang-Undang Ketenagakerjaan,” ujar dia. Langkah-langkah preventif, menurut Jahja, juga harus dilakukan dunia usaha. “Dunia usaha jangan ekspansi, siapkan likuiditas yang cukup, kurangi pinjaman yang tidak perlu, dan tingkatkan efisiensi,” tegas dia. Jahja menjelaskan, pintu resesi akan terbuka jika pemerintah mengerem belanja APBN. Saat ekonomi melambat, pemerintah harus ekspansif, baik untuk belanja rutin pegawai maupun belanja barang dan belanja modal. “Itu sangat penting untuk support sektor swasta,” ucap dia. Sektor-sektor padat karya, kata Jahja Setiaatmadja, dapat menjadi bantalan penangkal resesi. Karena itu, pemerintah harus memberikan perhatian serius terhadap sektor padat karya, seperti logistik, transportasi, pertambangan, perkebunan, dan pertanian. “Jika sektor-sektor ini terus didorong, ekonomi kita bisa bertumbuh,” tutur dia. Jahja mengakui, di tengah kondisi ekonomi global yang belum kondusif saat ini, industri perbankan harus lebih berhati-hati menyalurkan kredit. Soalnya, bila para bankir jorjoran menyalurkan kredit tanpa mengedepankan aspek kehati-hatian perbankan (prudential banking), kredit bermasalah (non performing loan/NPL) berisiko meningkat. “Perbankan harus menjaga likuiditas, jangan ekspansi kredit berlebihan, dan hati-hati memberi kredit. Perbankan bukanlah pintu resesi, tapi kalau resesi terjadi maka perbankan yang menjadi korban,” tandas Jahja. Menurut Direktur Bank Ina Benny Purnomo, yang perlu dilakukan pemerintah untuk mencegah resesi adalah memperkuat permintaan di dalam negeri melalui relaksasi berbagai peraturan di bidang ekonomi. “Pelaku usaha pun harus berhati-hati, tidak perlu terlalu ekspansif,” ujar dia. Benny mengemukakan, sektor bisnis yang harus diprioritaskan adalah sektor yang membutuhkan bahan baku impor. Untuk menangkal resesi, pemerintah juga harus mendorong sektor-sektor berorientasi pasar domestik, seperti makanan dan minuman. Juga sektor yang mendatangkan banyak devisa, misalnya pariwisata. Dia menambahkan, perbankan harus betul-betul mencermati keadaan debiturnya, sehingga tidak mudah memberikan kredit tanpa melihat profil risikonya. “Kondisi ekonomi seperti sekarang rawan mengakibatkan gagal bayar,” tutur dia.
Kepala Ekonom BTN Winang Budoyo mengungkapkan, perlu dukungan pemerintah untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi dan menghindarkan perekonomian nasional dari resesi. Salah satu yang mesti diupayakan pemerintah adalah meningkatkan daya beli masyarakat agar konsumsi domestik tetap tumbuh. “Melihat struktur ekonomi Indonesia dai sisi pengeluaran yang 57%-nya disumbang konsumsi rumah tangga, pemerintah harus menjaga daya beli masyarakat. Bila konsumsi meningkat, ekonomi akan bertumbuh,” tegas dia. Perbankan nasional, kata Winang, juga harus diperkuat. Soalnya, jika terjadi gagal bayar pada satu sektor usaha, kasus serupa dapat merambat ke sektor lainnya. Dia mengakui, pertumbuhan kredit dalam beberapa waktu terakhir melambat. Namun, itu merupakan hal yang wajar karena perbankan mulai berhati-hati menyalurkan kreditnya. “Bank dihadapkan pada likuiditas yang belum kembali longgar dan risiko naiknya NPL. Karena itulah, Bank Indonesia (BI) merelaksasi sektor perumahan sebagai kebijakan yang bersifat counter cyclical, supaya perbankan bisa tetap menyalurkan kredit,” papar dia.
Menurut ekonom Indef Bhima Yudhistira, di tengah ancaman resesi global saat ini, menteri-menteri kabinet lama (demisioner) sudah tidak memiliki waktu, bahkan sudah tidak boleh membuat kebijakan strategis. “Yang bisa dilakukan mereka hanya menyiapkan masa transisi bagi menteri baru. Diharapkan nanti ada dialog dengan menteri baru sehingga kebijakan sebelumnya bisa berkelanjutan. Yang perlu dilanjutkan terutama 16 paket kebijakan yang telah dikeluarkan pemerintah,” ujar dia. Bhima mengungkapkan, setidaknya ada lima langkah yang harus ditempuh pemerintah untuk mencegah resesi. Pertama, mempertajam simulus fiskal dengan mempermudah pendaftaran insentif pembebasan pajak untuk jangka waktu tertentu (tax holiday) dan keringanan pajak (tax allowance). “Selain dipermudah, insentif tax holiday dan tax allowance harus bisa meng-cover perusahaan kelas menengah dan kecil, bukan hanya yang besar,” tutur dia. Kedua, menurut Bhima, memperkuat pengawasan terhadap korporasi serta lembaga keuangan, terutama perbankan. Itu diperlukan karena adanya peningkatan risiko gagal bayar. Ketiga, mendorong konsumsi rumah tangga agar lebih berkualitas. “Saat ini kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap PDB mencapai 57%,” ucap dia. Untuk menjaga konsumsi rumah tangga, kata dia, pemerintah harus tetap memberikan stimulus kepada masyarakat kelas bawah, di antaranya dengan menaikkan PTKP dan tidak buru-buru menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Pemerintah juga harus membuat kebijakan perpajakan yang lebih kondusif untuk kelas menengah. Langkah keempat, pemerintah harus menstabilkan politik dan keamanan. Langkah kelima, pemerintah harus membuka pasar ekspor lebih masif, antara lain dengan menggencarkan promosi dan mendiversifikasi pasar ekspor. “Misalnya ke Afrika dan negara-negara di Kepulauan Pasifik,” ujar dia. Bhima Yudhistira menjelaskan, yang paling kuat dan bisa menjadi bantalan untuk menangkal resesi adalah sektor-sektor usaha di segmen UMKM. Soalnya, sektor ini tidak banyak terintegrasi dengan sistem global. “Ekspor UMKM kurang dari 16%. UMKM lebih banyak mengandalkan pasar domestik,” tandas dia. Pemerintah juga perlu memperkuat sejumlah sektor pada ekonomi digital, seperti transportasi online, e-commerce, serta sektor perikanan. “Ini karena pasarnya domestik dan tidak terlalu kena paparan global. Jadi, transimisi global terhadap sektor-sektor ini relatif lambat,” papar dia. Bhima mengakui, sektor yang paling rentan terimbas resesi saat ini adalah sektor keuangan, khususnya perbankan, sektor pertambangan, sektor perkebunan, dan sektor properti. Soalnya, tansmisi sektor-sektor tersebut ke pasar global sangat cepat. Setelah krisis finansial global 2008, sektor-sektor tersebut semakin terintegrasi dengan pasar global. Misalnya perbankan nasional terkait dengan bank asing dan investor asing. “Komoditas juga sangat terpengaruh saat harga di pasar global turun,” tegas dia.
Bhima Yudhistira membenarkan bahwa sektor perbankan merupakan salah satu pintu masuk resesi. Itu karena sektor perbankan rawan dibelit kredit macet akibat gagal bayar (dafault) utang korporasi. Untuk itu, menurut dia, sektor perbankan memerlukan kebijakan moneter yang dapat mengatasi peningkatan risiko gagal bayar dan masalah likuiditas. Selain itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) harus memberikan perhatian khusus terhadap bank yang memiliki banyak utang valas. “Dikhawatirkan terjadi mismatch. Sebab, saat terjadi resesi, rupiah akan terdepresiasi, sehingga mereka bisa kesulitan membayar utang valas,” tutur dia. Bhima mengemukakan, pemerintah harus waspada jika berkaca pada penurunan indeks manufaktur di AS dan global. Keadaan semakin buruk jika melihat situasi geopolitik di AS, Timur Tengah, dan Hong Kong. Perang dagang pun masih berlanjut. “Belajar dari krisis 1998 dan 2008, ini bisa berdampak sistemik ke sektor-sektor strategis kita. Jadi, Indonesia harus waspada,” tandas dia. Pengamat ekonomi UI Lana Soelistianingsih mengatakan, di tengah ancaman resesi global, perekonomian Indonesia dalam posisi yang tidak menguntungkan. Sebab setelah pilpres, perekonomian nasional cenderung autopilot. Itu karena menteri-menteri kabinet lama belum memiliki kepastian apakah akan diangkat kembali atau tidak.
Alhasil, menurut Lana, mereka tidak akan berbuat banyak. Apalagi Presiden Jokowi telah mengingatkan agar mereka tidak membuat kebijakan strategis. Dampaknya, pengeluaran belanja pemerintah kemungkinan bakal di bawah target dan realisasi tahun lalu. “Padahal, pengeluaran pemerintah ini booster di fiskal. Tahun ini saya kira pengeluaran pemerintah nggak akan sebaik tahun lalu. Realisasi sampai Agustus saja baru sekitar 50%,” ujar dia. Lana mengemukakan, para menteri demisioner pun kini lebih berhati-hati dalam urusan keuangan. “Kalau salah, mereka bisa berurusan dengan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi),” ucap dia. Karena itu, kata dia, upaya pencegahan resesi saat ini lebih banyak di BI, misalnya melakukan ekspansi kebijakan moneter dan makroprudensial. Bank Sentral tahun ini telah tiga kali menurunkan BI 7-day Reverse Repo Rate (BI 7-DRRR) ke level 5,25%. BI juga telah melonggarkan aturan Loan to Value dan Financing to Value (LTV/FTV) untuk sektor propeti dan kendaraan bermotor. Sektor yang paling rentan menjadi pintu masuk bagi resesi, menurut Lana, antara lain sektor consumer goods, termasuk sandang, dan ritel. “Saya kira harus diwaspadai kalau ritel atau mal-mal mulai sepi. Yang bahaya itu kalau orang sudah tidak mau belanja lagi,” tandas dia. Lana Soelistianingsih mengatakan, perbankan merupakan sektor yang paling mendapatkan keuntungan di tengah ancaman resesi global. Keuntungan itu berasal dari kebijakan moneter, berupa penurunan suku bunga acuan. Soalnya, setelah suku bunga acuan diturunkan, perbankan tidak meresponsnya dengan menurunkan suku bunga kredit, bahkan hanya menurunkan bunga deposito. “Saya kira jangan mengkhawatirkan kondisi perbankan, mereka justru mendapatkan keuntungan pada saat seperti ini. Net interest margin (NIM) mereka justru makin tinggi. Jadi, margin keuntungan mereka bertambah lebar,” tegas dia.
Ketua Umum API Ade Sudrajat mengemukakan, untuk menangkal resesi, pemerintah harus membentengi pasar dalam negeri. “Produsen dalam negeri harus menyediakan sedikitnya 60% dari kebutuhan barang dan jasa domestik,” ujar dia. Pemerintah, kata Ade, juga harus lebih agresif membuka pasar ekspor. Langkah lain yang perlu ditempuh adalah merevisi UU Ketenagakerjaan, UU Pertanahan, dan UU KPK. “Revisi harus bertujuan menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif,” tegas dia. (az)
Sumber : Investor Daily